Beranda | Artikel
Menyusuri Tapak-Tapak Hijrah
Rabu, 24 Oktober 2018

Pernah nggak sih kita merasa gimana gitu, ketika ngeliat temen kita yang cowok, yang sekarang udah rajin ke masjid, atau artis yang jadi semangat ikut kajian, jadi menjaga pergaulan. Atau temen cewek kita, atau artis yang dulu jilbaban aja jarang-jarang, sekarang jilbabnya udah gede nutupin dada dan lengan? Yang dulu hobinya pacaran, tapi sekarang diajak salaman lawan jenis saja tidak mau? Yang dulu jarang shalat, suka ngomong kotor, sekarang dia selalu ada di shaf pertama, dan ternyata sering ngaji dan ndengerin murottal?

Mungkin aneh ya, kok bisa mereka mau-mau nya meninggalkan kenyamanan dan fasilitas dunia yang telah mereka dapatkan dan lebih memilih “jalan hijrah” itu. Mungkin se-aneh Suhaib Ar-Rumi, seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang rela meninggalkan berhektar-hektar kebun nya agar ia bisa bergembira berhijrah ke Madinah. Atau se-aneh Abu Bakar Ash-Shidiq, yang menangis bahagia ketika diizinkan menemani Nabi Muhammad berhijrah, berjalan menempuh ratusan mil perjalanan memutar kota Mekkah dalam kejaran pasukan kafir Quraisy, sebuah perjalanan berbahaya menuju Madinah.

Aneh memang ya keliatannya? Tapi demikianlah ketika hidayah telah menyapa hati, ketika dia menyadari bahwa tujuan ia berada di dunia ini adalah semata untuk menunduk sembah kepada Sang Pencipta. Ketika mereka merenungi, bahwa hanya dengan itu pula kebahagiaan dapat dirasa. Bukan dengan kebanggaan atas daftar perempuan cantik yang ia pacari, atau deret album yang ia ciptakan, atau foya kenikmatan syahwat lainnya yang ia nikmati sambil durhaka menerjang larangan-laranganNya.

Bukan kawan, bukan dengan kenikmatan semu itu kita meraih kebahagiaan. Kenikmatan semu itu, yang diraih dengan mengorbankan ketaatan kepada Allah sang Ar-Rahman, hanyalah kenikmatan yang kan mewariskan kegusaran yang akan selalu merasa kurang, kegundahan karena khawatir kehilangan, penuh khawatir dan khawatir, meskipun semua nikmat itu telah ia cicipi, tapi kebahagiaan tak kunjung menghampiri. Lihatlah Qorun, bukankah ia adalah pemilik harta yang paling banyak pada zamannya? Tapi kau tahu kawan, justru dia menjadi orang yang paling bakhil, pelit, dan paling takut jatuh miskin dan amat takut kehilangan hartanya. Begitu pula lihatlah Fir’aun, betapa ia merupakan raja yang amat berkuasa, namun ternyata ia menjadi orang yang paling gelisah, dan amat khawatir kehilangan tahta. Bahagiakah mereka? Sama sekali tidak kawan. Mereka kaya akan perbendaharaan dan kenikmatan dunia, akan tetapi hatinya miskin, layu dan penuh kesengsaraan, amat jauh dari rasa kebahagiaan.

Atau tanyakan pada diri-diri kita sendiri, pada perempuan yang rela membuka perhiasan tubuhnya demi bualan predikat “cantik” dari lelaki sekitarnya, pada orang yang masih asyik berpacaran, pada orang-orang yang acap meninggalkan panggilan adzan hanya untuk berbincang, duduk tertawa hingga waktu shalat berlalu begitu saja. Jujurlah pada hati, dengan pacar kesayangan, apakah kau telah menemukan kebahagiaan, atau justru semakin hari kau menjadi semakin sedih dan galau penuh khawatir kehilangan “cinta-nya”? Pada aurat yang kau tampilkan, demi gelar kecantikan yang kau banggakan, sudahkah engkau temukan kebahagiaan? Atau justru semakin hari kau semakin gusar, khawatir khayalak meninggalkanmu? Bagaikan meminum air laut, bukan kesegaran yang diinginkan, tapi ternyata semakin ia teguk, semakin dahsyat dahaga yang ia rasakan.

Tidak bisa kawan, kita tidak bisa membohongi hati ini. Ketika kita menjauhi Allah, menerjang larangannya, fitrah hati ini tidak kan bahagia. Jujurlah, pasti kita merasakan hal yang sama.

Karena sungguh kebahagiaan yang hakiki itu hadir ketika kita menyadari tujuan penciptaan kita di dunia ini, yaitu ketika hati semakin dekat beribadah kepada Sang Pencipta, kita akan bahagia. Kenapa? Karena memang kita diciptakan untuk itu. Bukankah hanya Dia pula yang bisa mencurahkan rasa bahagia? Lalu mengapa kita justru berlari menjauhi-Nya? Bagaimana kita bisa bahagia, sementara kita sedang mendurhakai Pencipta jiwa kita?

Bahagia itu kawan, tidak harus selalu senang gembira, yang terkadang diraih dengan harus mendurhakai Allah dan meninggalkan perintah-Nya. Bukan kawan, itu kebahagiaan semu.

Akan tetapi bawalah hati ini jujur ke jalan-Nya, hijrah menempuh ridho Sang Pencipta, agar kebahagiaan itu datang, meskipun terkadang diri harus menitikan air mata, memupuk sabar dan lapang iman ketika menjalankan perintah-perintah-Nya. Meskipun terkadang mendung hati menghampiri, ketika pada tapak-tapak hijrah itu, ada keinginan yang harus diurungkan, ada nafsu yang harus dilawan. Tapi disanalah letak kebahagiaan, enjoy, hepi, yang selama ini kita cari-cari.

Ayo kawan, saling membersamai di jalan hijrah, sebuah jalan yang begitu indah. Bukankah itu yang selalu kita minta di setiap shalat kita? Ihdinash-shiratal-mustaqiim “Ya Allah tunjukilah kami jalan yang lurus”.

Tak mau-kah engkau, menikmati perjalanan yang bahkan raja-raja dunia saja belum tentu merasakannya? Seorang Ulama pernah berkata, menggambarkan kenikmatan hijrah yang ia rasakan;

Seandainya para raja dan anak raja mengetahui rasa bahagia yang kami rasakan, tentu mereka akan memerangi kami dengan pedang-pedang demi mendapatkannya”

Mari kawan, melangkah bersama meniti jalan hijrah, kita susul kawan kita yang telah lebih dahulu berhijrah. Sungguh kawan, mereka-pun dulu dalam kelam hitam kemaksiatan yang mereka anggap kenikmatan. Mereka-pun dulu sama dengan kita, bernikmat-nikmat merasakan lezat syahwat. Sama, merekapun telah merasakannya. Namun mereka sudah berhijrah, dan kita belum merasakan kenikmatan yang mereka dapatkan setelah hijrahnya. Kenikmatan, yang seandainya kita tahu betapa nikmatnya, tentu kita kan berlomba tuk pula meraihnya.

Ialah kenikmatan, kebahagiaan berhijrah kepada Allah. Mempertemukan hati kepada ridho Sang Pencipta.

Selepas membaca tulisan ini kawan, nanti ketika adzan shalat berkumandang, bersegeralah kau hampiri panggilan itu, dan mulailah tuk senantiasa shalat berjamaah di awal waktu. Atau engkau saudari-saudariku, Nabi Muhammad shalallahu ‘alayhi wasallam gelarkan engkau sebagai perhiasan terindah di dunia ini, maka marilah tutup perhiasanmu, tutuplah auratmu, jadikanlah ia permata, yang terbungkus indah karena kemuliaanya.

Akhirnya, selamat memperbaiki diri kawan…

Penulis: Wildan Salsabila, S.Farm., Apt.

Kisah Taubatnya Fudhail Bin Iyadh, Sang Ulama Besar

Kisah taubat Fudhail bin Iyadh merupakan sebuah kisah yang luar biasa. Bagaimana seorang perampok yang ditakuti, bisa menjadi takut dan kembali ingat kepada Allah setelah mendengar percakapan kafilah dagang yang takut kepadanya dan mendengarkan ayat Alquran. Padahal hari ini, banyak manusia –mungkin termasuk kita di dalamnya- adalah bukan seorang perampok, bukan juga orang yang dikenal sebagai penjahat atau orang yang terbiasa melakukan dosa secara terang-terangan, tetapi ketika mendengar ayat Alquran hati kita tidak bergetar, tidak mengingat dan mengagungkan Allah, nas’alullaha at-taufiq. Bagaimana kisah taubat seorang yang kemudian menjadi ulama besar ini.

Seorang tetangga Fudhail bin Iyadh berkata, “Fudhail bin Iyadh adalah perampok (hebat) sehingga tidak memerlukan partner atau tim dalam merampok. Suatu malam dia pergi untuk merampok. Tak berapa lama ia pun bertemu dengan rombongan kafilah. Sebagian naggota kafilah itu berkata kepada yang lain, “Jangan masuk ke desa itu, karena di depan kita terdapat seorang perampok yang bernama Fudhail.”

Fudhail yang mendengar percakapan anggota kafilah itu ternyata gemetar, dia tidak mengira bahwa orang-orang sampai setakut itu terhadap gangguan darinya, ia merasa betapa dirinya ini memberi mudharat dan bahaya bagi orang lain. Fudhail pun berkata, “Wahai kafilah, akulah Fudhail, lewatlah kalian. Demi Allah, aku berjanji (berusaha) tidak lagi bermaksiat kepada Allah selama-lamanya.” Sejak saat itu Fudhail meninggalkan dunia hitam yang telah ia geluti itu.

Dikisahkan dari jalur riwayat yang lain, ada tambahan kisah bahwa Fudhail menerima kafilah tersebut sebagai tamunya pada malam itu. Dia berkata, “Kalian aman dari Fudhail.” Lalu Fudhail mencari makanan untuk ternak mereka. Manakala dia pulang, dia mendengar seseorang membaca ayat,

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid: 16)

Mendengar ayat tersebut Fudhail berkomentar, “Berita-berita kami ditampakkan! Jika Engkau menampakkan keadaan kami, maka apa yang kami sembunyikan pasti akan terlihat dan kami akan malu. Jika Engkau menampakkan amalan kami, maka kami akan celaka karena adzab-Mu.”

Dan aku (tetangga Fudhail) mendengarnya mengatakan, “Kamu berhias untuk manusia, berdandan untuk mereka, dan kamu terus berbuat riya’, sehingga mereka mengenalmu sebagai seorang yang shaleh. Mereka menunaikan kebutuhanmu, melapangkan tempat dudukmu (menyambutmu), dan bermuamalah denganmu karena mereka salah duga. Keadaanmu benar-benar buruk jika demikian adanya.”

Aku juga mendengarnya mengatakan, “Jika kamu mampu untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Kamu tidak rugi walaupun tidak dikenal, dan kamu tidak rugi walaupun kamu tidak dipuji. Kamu tidak rugi walaupun kamu tercela di mata manusia, asalkan di mata Allah kamu selalu terpuji.”

Pelajaran:

Seorang yang terbiasa melakukan perbuatan dosa, maka hatinya akan menghitam sehingga sulit menerima hidayah. Namun terkadang, ada sedikit celah di hatinya yang belum tertutup dengan gelapnya maksiat. Apabila ia gunakan bagian kecil ini untuk merenungkan dan mengingat kekuasaan Allah, maka Allah akan bersihkan hatinya dari noda-noda hitam dosa kemaksiatan. Sebaliknya, apabila ia tetap menuruti hawa nafsunya, maka hati tersebut semakin menghitam dan lama-kelamaan akan mati dan tidak menerima hidayah.

Sumber: at-Tawwabin oleh Imam Ibnu Qudamah

Artikel kisahmuslim.com

 


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/menyusuri-tapak-tapak-hijrah/